Folklor adalah kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di suatu masyarakat Folklor terbagi menjadi tiga jenis, yakni folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan folklor bukan lisan.
Folklor lisan yakni folklor yang hanya mewujud secara lisan dari mulut ke mulut dalam masyarakat pemiliknya, seperti puisi rakyat, mitos, cerita rakyat, peribahasa, legenda, dan lainnya. Folklor sebagian lisan yakni folklor yang wujudnya gabungan antara lisan dan tindakan, seperti kesenian ebeg di Banyumas yang memadukan mantra sebagai sajian pembuka untuk memberi hormat pada roh halus sebelum gerakan tari dilangsungkan. Roh halus tersebut diyakini akan merasuki tubuh penari ebeg dan membuat ia kesurupan. Adapun folklor bukan lisan wujudnya hanya materi tanpa adanya tindakan, misal rumah adat, alat musik tradisional, situs-situs bersejarah, dan tarian tradisional.
Eksistensi Folklor di Banyumas
Folklor yang berkembang di Banyumas umumnya memiliki usia tak lebih dari seratus tahun. Hal ini disebabkan oleh sifat tradisi lisan yang rawan perubahan dan mendapat pengaruh dari banyak faktor eksternal seperti perkembangan teknologi, perubahan sosial budaya, serta migrasi penduduk dari masa ke masa. Selain itu, sebagian besar folklor terbentuk dan berkembang setelah adanya Kolonial Belanda kemudian terus berlanjut sampai kemerdekaan Indonesia. Namun, beberapa elemen budaya yang lebih tua banyak yang terintegrasi dan membentuk folklor-folklor baru, misalkan saja pada Gandalia yang menjadi salah satu alat musik tradisional dari Dusun Kalitanjung, Desa Tambaknegara, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
Keunikan Desa Tambaknegara
Desa Tambaknegara terletak di dekat Serayu, sebuah sungai yang melintasi lima kabupaten, yaitu Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas hingga Cilacap. Di Desa Tambaknegara, khususnya Dusun Kalitanjung masih ditemui beberapa masyarakat yang menganut Islam kejawen. Islam Kejawen yakni suatu kepercayaan yang menggabungkan unsur-unsur Islam dengan tradisi, budaya, dan berbagai kepercayaan yang berasal dari Jawa. Islam Kejawen berkembang saat Islam pertama kali masuk ke tanah Jawa pada abad ke-13 melalui para pedagang dan mubaligh dari Timur Tengah, Gujarat, dan Cina. Saat itu, masyarakat Jawa telah memiliki kepercayaan dan praktik spiritual yang berakar dari agama Hindu-Budha dan animisme. Proses Islamisasi di Jawa pun tidak menghapus sepenuhnya kepercayaan lama, melainkan mengakulturasikan unsur-unsur tersebut ke dalam praktik Islam. Misal pada saat memandikan jenazah seseorang dari aliran Kejawen di desa Tambaknegara ini harus dari pihak keluarga yang menganut Islam Kejawen juga dan tidak sembarang orang yang bisa memandikannya. Selain itu, beberapa situs bersejarah masih ada hingga saat ini, seperti Gua Jepang, Kolam Pemandian Tirta Husada Kalibacin, Pohon Beringin yang berusia ratusan tahun, dan Pohon Angsana Lima yang terletak di salah satu pemakaman.
Di desa inilah Pak Rusdi tinggal. Pria paruh baya ini merupakan warga asli Tambaknegara. Dia juga seniman Gandalia yang merupakan musik asli Banyumas yang masih sering dimainkan di Desa Tambaknegara. Pak Rusdi meski bukan keturunan langsung pembuat Gandalia, dia tampak tahu banyak mengenai alat musik ini.
Asal-Usul Gandalia
Gandalia atau yang biasa disebut “Gondolio” merupakan alat musik tradisional Kabupaten Banyumas. Gandalia pertama kali dibuat oleh salah satu warga dusun Kalitanjung, Desa Tambaknegara, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas yakni Ki Bangsa Setra pada tahun 1925. Beliau merupakan seorang petani dan seniman karawitan. Pada mulanya, gandalia hanya

digunakan untuk menemani bertani, terutama pada waktu beristirahat di ladang ataupun di kebun sebagai alat mengusir rasa sepi.
Selain itu, gandalia dibuat untuk menghadang hama yang menyerang tanaman sebab masih adanya babi hutan dan kera yang melintas di wilayah tersebut. Wilayah Tambaknegara sendiri berada di antara perbukitan yang membentang dan dikelilingi Sungai Serayu serta alas atau hutan yang lebat. Pak Rusdi yang mengaku pernah berkomunikasi dengan anak keturunan Ki Bangsa Setra, menyatakan bahwa Gandalia awalnya hanya digunakan sebagai alat komunikasi. Gandalia digunakan sebagai komunikasi oleh warga desa untuk menyampaikan informasi, yakni sebagai petanda. Gandalia atau Gondolio berasal dari bahasa Jawa yakni kata “Gandal/Gandol” yang artinya “dibawa/diambil” dan “Lia/Liya” yang artinya “orang lain”. Jadi Gandalia memiliki makna “supaya tidak dibawa orang lain” yang merujuk pada hasil pertanian dan negara, karena pada saat itu masa penjajahan yang ditakutkan akan dirampas oleh para penjajah. Alat musik Gandalia mempunyai empat nada yaitu, Ro, Lu, Ma, Nem dengan nada gamelan Slendro. Bentuk Gandalia mirip dengan angklung, tetapi hanya mempunyai empat bambu untuk dimainkan. Meneurut Pak Rusdi, jika dibandingkan angklung, maka Gandalia lebih muda usianya.
Mitos-Mitos Gandalia
Alat musik Gandalia mempunyai teknik yang cukup sulit, meskipun terlihat mudah saat dimainkan, ternyata butuh ketekunan dan ketelitian dari jari-jari tangan untuk memegang, membuka, dan menutup keempat bambu yang merupakan tubuh Gandalia itu sendiri.

Bahkan terdapat pula mitos bahwa orang yang bisa memainkan Gandalia hanya penduduk asli desa Tambaknegara. Namun pada kenyataannya, tidak semua penduduk desa Tambaknegara, mampu memainkan alat musik ini. Bahkan ada mitos bahwa yang mampu memainkan alat ini hanyalah empat orang asli Tambaknegara. Hal ini berkaitan dengan empat instrumen bambu Gandalia ini. Menurut informasi Pak Rusdi, selama empat generasi hanya empat orang anak yang bisa memainkan Gandalia dengan lancar. Mitos lain tentang Gandalia yaitu, Gandalia merupakan alat musik pemanggil hujan. Orang-orang percaya setiap Gandalia dimainkan akan turun hujan. Pak Rusdi mengibaratkan Gandalia merupakan pembawa kesuburan dan kemakmuran. Saat memainkan Gandalia, tidak ada ritual atau mantra khusus. Orang yang hendak memainkan Gandalia hanya berdoa meminta izin kepada leluhur menggunakan media yaitu sajen dan dupa untuk kelancaran selama pertunjukan berlangsung.
Perjalanan Gandalia
Pada awalnya, Gandalia diturunkan dari generasi ke generasi kepada anak cucu Ki Bangsa Setra. Namun, Gandalia kini diturunkan kepada generasi muda penduduk Dusun Kalitanjung, Desa Tambaknegara, Rawalo agar tetap terjaga dan tidak punah keberadaannya. Sampai saat ini, penduduk Desa Kalitanjung masih mempertahankan alat musik Gandalia, bahkan mereka selalu aktif melakukan latihan di pendopo setiap minggu. Selain itu, para seniman Gandalia Dusun Kalitanjung sering memperkenalkan alat musik Gandalia ini pada event yang lebih luas.